Tenggelamkan saja!

Tenggelamkan saja!

Aku pun ragukan kau bisa berenang
tuan? Lalu bagaimana bisa ikan-ikan
mengenalimu? Jangan-jangan rasa
air laut pun kau tak tahu?
Sebuah wacana menohok hati dan
perasaan Ponimin sore ini. Bagaikan
tersambar petir Satu Juta volt,
seluruh persendian Ponimin ringsek
jadinya. Dua gelas besar air Ia teguk
tanpa jeda, bukan karena dahaga,
terlebih panas hati yang sejak tadi
terlanjur mambara.
“Sompret!” makinya kesal.
Sang ajudan yang sedari tadi
menyaksikan pola tanduk Ponimin
segera mendekat. Ia pijit perlahan
pundak Ponimin dari belakang.
Begitu jelas, nafas Ponimin terengah
tanda Ia sedang bersiteru dengan
luap emosinya.

“Sabar Pak, Orang sabar itu cepat
naik gaji loh,” hibur sang ajudan
pada Ponimin.
Mata Ponimin seketika menatap
tajam bola mata Ajudan. Melihat itu,
sang ajudan mengalihkan pandangan
dan segera menundukan wajahnya.
“Bagaimana saya tidak kesal, ini loh
berita ini kok nusuk benar! Siapa
bilang saya tidak bisa berenang!
Wong sejak kecil saya sudah main
empang,” kata Ponimin dengan nada
kesal.

Sang ajudan menghentikan pijitan
jemarinya. Ia menatap pada sebuah
Koran yang berserakan di atas meja.
Dalam Koran itu terpampang jelas
sebuah headline dengan tulisan
besar, ‘Ponimin Gentar! Kapal Kayu
Tenggelam, Kapal Besar Bebas!’
“Itu yang mereka maksud adalah
kejadian di wilayah Anambas Pak,
masalah penenggelaman kapal
pencuri ikan,” jelas Ajudan.
“Memangnya kenapa dengan masalah
itu, itukan perwujudan dari janjiku
tempo kampanye dulu,” sergah
Ponimin.

“Iya Pak, benar. Tapi itu yang bapak
tenggelamkan kapal-kapal kayu
rongsokan lama, sementara kapal
besar masih bebas berkeliaran
menggerayangi laut Arafuru.”
Mendengar penjelasan Ajudan,
Ponimin menjadi naik pitam. Ia
seketika berdiri dari posisi duduknya.
Tangannya dengan cekatan meraih
kerah baju sang ajudan.
Mencengkram keras, menarik ke arah
dirinya.

“Jangan sok tahu ya kamu! Kamu itu
tahu apa!” bentak Ponimin.
“Memangnya kamu pikir ngurus
maritim itu seperti urusan masuk ke
dalam Got dengan bantuan blitz
kamera?! Ini lebih kompleks! Lebih
sulit! Ibarat sebuah sinetron ini
adalah sebuah Film dengan skala
besar! Harus banyak hal yang perlu
disiapkan agar semua ini
meyakinkan! Dan posisiku jadi
taruhannya tahu!” sambung Ponimin
dengan nada penuh amarah pada
Ajudan.
Mata Ponimin masih melotot dengan
nafas tersengal tepat di depan wajah
ajudan. Ajudan yang merasa
kewalahan berusaha melepas
cengkraman Ponimin. Hal itu
membuatnya terdorong ke belakang
hingga mundur beberapa langkah.
“Saya paham Pak, tapi …” Ajudan
berusaha meluruskan.
“Jangan pakai tapi-tapi ajudan! Kamu
itu tugasnya hanya menyertai saya!
Cukup!”
Ajudan terdiam. Ia mengangguk
tanda mengerti.

Beberapa menit kemudian, ponsel
Ponimin bergetar. Nada dering
‘Sakitnya Tuh di Sini’ menggema ke
penjuru ruangan. Sebuah panggilan
masuk dari Mr. X, orang kepercayaan
Ponimin di perbatasan laut negeri
Bajigur.

“Halo! Ada apa?” Tanya Ponimin
kepada Mr. X
“Halo Pak Ponimin! Saya mau lapor,
prajurit saya menangkap kapal
tongkang ukuran besar di perbatasan,
lalu bagaimana?” jawab Mr. X
“Pikir sendiri! Tanya ke dia, Wani
Piro?!!!” bentak Ponimin pada Mr. X
sebelum ia mematikan Telepon
genggamnya.

Mendengar percakapan Ponimin di
telepon, Sang ajudan melongo.
Antara bingung dan tak percaya.
“Masa bodoh, bukan urusan saya,”
gumam ajudan dalam hati.

Oleh Rumah Karikatur




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Back To Top