Ketika Aku Galau

Ketika Aku Galau

"Kau mau lompat? Lompat aja!
Sebelum kamu ketahuan banyak
orang!" Dia menyuruhku dari tadi.
Entahlah dia siapa. Seorang laki-laki
seumurku. Menggunakan jubah
cokelat, celana hitam serta kemeja
putih. Kakinya dibalut sepatu
panthofel hitam. Ia duduk di pagar
pembatas tak jauh dariku berdiri di
bibir gedung lantai empat puluh ini.
"Kenapa ... " Aku berkata lirih namun
suaraku terhenti tatkala lelaki itu
menunjuk kebawah. "Ayo! Lompatlah!
Akhiri kegalauanmu segera!"
"Kenapa kau memintaku untuk
lompat? Siapa kamu?!" Aku
penasaran.
"Kenapa kau ingin tahu, nona?" Ia
membalikkan penasaranku. Senyum
ganjilnya menghiasi pikiranku sedari
tadi.

"Kau selalu menyuruhku untuk
lompat, bahkan aku tak tahu kau
siapa dan datang dari mana!"
Suaraku meninggi. Namun ia tak
gemetaran ataupun sekadar
menggeser badannya sedikit
menjauhiku, nyatanya tidak!
"Aku sedang galau!" Aku memandang
langit, aku membuka pembicaraan
seolah aku bisa mendapat
perhatiannya.
"Oya? dan karena itu kau ingin
mengakhiri semuanya?" Ia mulai
menelusuri pikiranku.
"Sepertinya. Memangnya kenapa?"
Aku mencoba memancingnya.
"Kau tau? Di bawah sana itu bukan
kasur. Itu aspal ... itu kendaraan
yang sedang berlalu lalang. Kau akan
mati!"
"Bukankah itu tujuanku ya?"
"Agar galaumu menghilang?"
"Daripada aku tersiksa?!"
"Sesederhana itu?"
"Kau terlalu banyak tau! Memangnya
kau siapa?!"
"Jika aku beritahu kau mau apa?"
"Diam! Kau begitu berisik!" Aku
meneriakinya marah. Kesalku
memuncak seiring senyum ganjil laki-
laki itu.

"Lompatlah segera! Kau tau ... tubuh
molekmu itu akan meluncur bebas.
Jika ingin segera hancur tak dikenali,
condongkan badanmu lurus vertikal
dengan kepala di bawah duluan, dan
... buuzzz ... kepalamu telak
menghantam benda keras apapun di
bawah sana! Matamu keluar,
kepalamu hancur berantakan ... wow
... !!!"
"CUKUP!!!" Aku berteriak semakin
kesal. "Ada apa denganmu?!"
"Kau yang sebenarnya ada apa?" Ia
tetap terlihat santai. "Bocah
sepertimu mudah rapuh!"
"Bukan urusanmu, monyong!!!
Enyahlah kau dari hadapanku!"
"Apa hakmu mengusirku?" Aku akui ia
mulai mengusik kemarahanku. "Aku
kan tidak mengganggu aktifitasmu."
"Tak mengganggu? Kau buta atau
tolol sih? Jelas-jelas kau tak diam,
kau banyak mengusikku sedari tadi!"
Lelaki menjengkelkan itu menggaruk
kepalanya. Ia tersenyum sambil
memandang kejauhan. Lalu melirikku
dengan senyumannya yang
menggoda, kupikir-pikir ia lumayan
tampan. Hah! apa sih yang aku
pikirkan? Tetap saja dia
menjengkelkan!
"Kau sebenarnya siapa? Dan kau
datang dari mana?!" Aku mencoba
tenang. Aku atur emosiku.
"Kau tak ingin lompat? Kau tak lupa
kan tujuan awalmu?" Ia tertawa.
Benar-benar orang ini. Aku tanya apa
ia jawab apa. "Sudah aku katakan tadi
kan? Jika aku beritahu kau mau apa?"
Aku akhirnya memilih diam.
Kuanggap lelaki yang berdiri tak jauh
dariku ini hanyalah lalat saja.
Pikiranku menerawang jauh di bawah
sana.

Jika aku lompat sekarang,
bebanku akan hilang. Ahh anginnya
deras sekali menerpa tubuhku.
"Sudah ingin lompat?" Ia kembali
bersuara, memecah lamunku. Aku
meliriknya kesal, saat kutorehkan
wajahku, ia tiba-tiba sudah semakin
dekat denganku. "Hei ... nona. Kau
tau? Di bawah sana itu bukan kasur.
Tidak empuk!"
"Aku tahu!"
"Jika kamu tahu kenapa kau tak
urungkan niatmu?"
"Kau memintaku untuk lompat bukan,
kenapa sekarang kau malah
membujukku untuk menghentikan
keinginanku?!"
"Aku tidak menyuruhmu untuk
lompat, dan aku juga tidak pula untuk
memintamu menghentikan
keinginanmu untuk melompat."
"Lalu kau mau apa?!!!" Aku mulai tak
sabar, mataku melototinya.
"Hanya gara-gara galau, kau ingin
mengakhiri hidupmu. Apa kau tak
sayang dengan kehidupanmu? Apa
hanya gara-gara lelaki, kau rela
menyudahi seluruh aktifitas
kehidupanmu? Kau bodoh, nona.
Hahahahaha!" Sekali lagi ia
membangunkan emosiku. "Kau tak
hanya kehilangan kesempatanmu
untuk mengatur kebahagiaanmu, kau
juga akan kehilangan orang yang
disiapkan Tuhan untuk menggantikan
laki-laki yang telah menyakitimu. Apa
kau tak pikirkan hal itu?" Ia
memandangku dengan tenang. "Ahh
... iya! Aku ingat, kau kan sedang
galau. Mana mungkin kau akan
berpikir sesehat itu? Hahahaha!"
"Kau sudah selesai?" Tanyaku kesal.

Ia malah menanggapi kekesalanku
dengan segurat senyuman yang
manis. Ahh aku membenci hal itu.
"Kau bukan saja kehilangan itu
semua, nona. Kau juga kehilangan
kesempatan untuk menghirup
kebebasan di dunia ini. Kau tahu?
Berapa orang yang akan
menangisimu ketika kau memilih
jalan ini? Apa kau sudah
menghubungi orang tuamu, sahabat-
sahabatmu, atau teman-temanmu?
Kau tak pamit?"
"Untuk apa aku harus meminta izin
mereka, bodoh! Yang ada aku
bakalan dicaci, dimarahi dan bakalan
dicegah!"
"Itu tandanya mereka menyayangimu.
Lalu jika kau tahu itu kenapa kau
ingin melakukan hal ini?"
"Bukan urusanmu!!!!"
"Memang sih bukan urusanku, tapi
cobalah untuk berpikir. Apa setelah
kau mati nanti urusanmu di dunia ini
bakalan berakhir?"
"Iya!"
"Lalu bagaimana urusanmu dengan
Tuhanmu?"
"Tuhanku? Apa Dia peduli denganku?
Dia tak membantuku di saat laki-laki
busuk itu menyakitiku!!!"
"Ia membantumu. Kau saja tak
merasakannya."
"Kau sudah cukup mengoceh?!"
"Kau memintaku diam?"
"Jelas iya!"
"Lalu kenapa kau menanggapi setiap
ocehanku jika kau ingin aku diam?"
"Kau..." Aku tak tahu harus berkata
apa lagi. Tiba-tiba niatku untuk
mengakhiri hidupku meluap sudah.
"Hidup itu indah nona. Sudahlah, tata
kembali hatimu. Balaslah perlakuan
laki-laki yang menyakitimu dengan
kesuksesanmu. Semua masalah jika
diakhiri dengan melompat seperti ini
adalah cara pengecut dan tak
terhormat. Setiap kehidupanmu,
langkahmu dan caramu berpikir kelak
dimintai pertanggungjawaban. Kau
hanya menyewa apa yang ada di
hidupmu sekarang. Tubuhmu itu
bukan seluruhnya mutlak milikmu,
tapi kau menyewanya dari Tuhan.
Masa kau ingin menghancurkan apa
yang bukan menjadi hakmu
seutuhnya?" Tiba-tiba jubah lelaki di
dekatku ini membesar, menutupi
sekujur tubuhnya. Kemudian
sepasang sayap panjang dan besar
muncul dari punggungnya. "Jangan
kau bebani aku gara-gara
kebodohanmu dan otak ciutmu itu
nona. Tugasku sudah banyak.

Setiap
waktu mencabik jiwa kerdil sepertimu
hanya gara-gara galau!" Sayapnya
mengembang, ia lalu melayang dan
tersenyum padaku. tiba-tiba tangan
kirinya keluar dan munculah sabit
raksasa digenggaman tangannya.
"Kau ingin tau siapa aku? Harusnya
kau sudah tau siapa aku."
Aku terpana memandangnya. Apa dia
malaikat maut? Jika iya, pantas aku
tak mampu berkata apa-apa lagi.
Amarahku menghilang tak
membekas. Jadi lelaki yang
mengusikku sedari tadi. "Sudahlah
nona. Galau itu tak perlu. Jika kau
ingin mati. Matilah secara terhormat.

" Ia memasang topeng tengkoraknya
dan kemudian melayang ke angkasa,
meninggalkanku yang kini terduduk
lemas di bibir gedung. (end)

Oleh Rif'an Binar Nusantara




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Back To Top